Baliku Yang Indah | Siwaratri Malam Introspeksi Diri
Secara Tattwa sesungguhnya Siwaratri merupakan malam perenungan dosa, (bukan peleburan dosa), dengan tujuan tercapainya kesadaran diri.
Secara Tattwa, sesungguhnya Siwaratri itu simbolisasi dan aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual guna tercapainya ‘penyatuan’ Siwa, yaitu bersatunya atman dengan paramaatman atau Tuhan
penguasa jagat raya itu sendiri.
penguasa jagat raya itu sendiri.
Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas
perbuatan-perbuatan
selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.
perbuatan-perbuatan
selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan agar keluar dari perbuatan dosa.
Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai telah mengalami “reinkarnasi” menjadi “Lubdaka-Lubdaka Kontemporer”. Misalnya, bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ”memburu” danau, gunung, laut dan hutan, dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.
Perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti Wana Kerthi, Samudera Kerthi, Danu Kerthi Dan Giri Kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam. Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.
Perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan umat Hindu, seperti Wana Kerthi, Samudera Kerthi, Danu Kerthi Dan Giri Kerthi. Yadnya itu digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam. Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.
Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan dosa atau kekeliruan selama ini. Teks-teks atau Purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi Siwaratri.
Waktu pelaksanaan Siwaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat yaitu Panglong Ping 14 Sasih Kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Siwaratri seperti upawasa (puasa), monobrata (diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).
Umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki kekurangan. Karena itu hari suci Siwaratri ini merupakan momen yang tepat untuk melakukan pe renungan atau penyadaran diri. Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk mencapai suatu keharmonisan.
Sementara dalam buku ”Memahami Makna Siwaratri” karangan IBG Agastia disebutkan, ada sejumlah sumber Sansekerta memuat uraian tentang Siwaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin Siwaratrikalpa yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma Purana.
Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa (pemburu yang miskin dan hina), si Lubdaka, yang karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat anugerah Bhatara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.
Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada. Siwaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan
Hari tersebut dikenal dengan nama Siwalatri/Siwaratri atau Malam Siwa. Latri/ratri berarti malam (gelap). Dan bahkan malam itu adalah malam tergelap dibanding malam-malam lainnya. Kalangan krama Bali beragama Hindu umum menyebutnya “peteng pitu”.
Pada hari Siwaratri umat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam prabhawanya (manifestasi) sebagai Siwa Mahadewa. Umat patut melaksanakan brata, meningkatkan kesucian rohani dan latihan mengekang hawa nafsu. Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Terbebas dari berbagai godaan yang bisa menjerumuskan dan menyesatkan hidup, karena perbuatan menyimpang dari ajaran dharma atau Agama.
Gelap bisa menakutkan dan menciutkan nyali bagi sebagian orang. Karena menurut mereka di dalam gelap bercokol setan dan berbagai mahluk pemangsa lainnya. Tetapi sebagaian orang lagi gelap merupakan media dalam mendapatkan ketentraman batinnya. Dalam kegelapan malam ada keheningan kesunyian dan kedamaian, makanya mereka memburu gelap, termasuk malam siswa malam paling gelap sehari menjelang Tilem Kepitu
Adalah Lubdhaka si pemburu miskin yang berbahagia dalam perjalanan hidupnya, sekalipun tidak disadari karena secara kebetulan. Dikatakan berbahagia, lantaran sekalipun dalam sehari-hari selalu melakukan tindakan sadis, melakukan pembunuhan satwa (binatang), tetapi bisa masuk surga sesudah meninggal.
Dari pandangan mata secara awam saja, tentu perbuatan membunuh, menghilangkan nyawa mahluk lain di luar tujuan yadnya, adalah berdosa. Misteri kematian dan perjalanan arwah Lubdhaka tidak banyak yang mengetahuinya. Pemburu tersebut dalam mitologi Hindu meninggal beberapa hari setelah Siwaratri lantaran menderita suatu penyakit. Istri dan anak-anaknya merasa kehilangan.
Apa yang dilakukan Lubdhaka sehingga memperoleh tiket masuk surga setelah mati?
Suatu hari lelaki itu seharian berburu, namun sama sekali tidak mendapat binatang buruan. Waktu itu jangankan ia berhasil memanah seekor binatang untuk dibawa pulang, melihat bayangan binatang saja tidak. Sangat apes hari itu perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu profesional.
Dalam kehampaan, jengkel bercampur lelah fisik karena lapar dan harus Lubdhaka memutuskan tidak bertolak pulang menemui istri dan anak-anak kesayangannya. Dengan perasaan pasrah dan nekat ia memutuskan bermalam di hutan padang perburuannya seorang diri.
Waktu itu sebagai pemburu Lubdhaka tidak memiliki motif lain, bertahan di hutan. Kecuali satu harapannya, malam itu ia akan menemukan binatang dan berhasil memanahnya untuk dibawa pulang. Ia memilih berdiam di sebuah pohon dekat telaga yang airnya sangat bening.
Lubdhaka boleh saja berharap, namun kenyataannya sampai tengah malam yang sunyi senyap hasilnya tetap nihil. Malah dalam malam gelap ia dilanda ketakutan. lantas Lubdhaka memilih memanjat sebuah pohon yang lumayan rindang, antisipasinya supaya terhindar dari sergapan binatang buas. Untuk menahan kantuk tangannya memetik satu persatu dahan pohon yang tidah. Ternyata malam saat Lubdhaka menginap di hutan adalah Malam Siwa (Siwa Latri), yakni malam payogan Hyang Siwa.
Dimana di bawah pohon tempatnya memanjat ada sebuah telaga dan perwujudan Siwa beryoga. Pohon yang dinaiki adalah pohon Bila, serta dalam petikan lelaki itu tepat mengenai patung Siwa (Lingga) tersebut. Karena takut jatuh otomatis ia tetap terjaga (jagra) sampai pagi. Aktivitas Lubdhaka malam itulah mendapat pahala dari Hyang Siwa, hingga ia berhak masuk sorga.
Aktivitasnya itu sama nilainya dengan yang dikerjakan Siwa. Beryoga, menahan haus, lapar, tidak tidur dan menahan nafsu-nafsu lainnya. Dikhayangan rohnya sempat menjadi rebutan, antara penguasa neraka dan surga. Perjalanan Lubdhaka sebagai pemburu sampai masuk sorga cukup kontroversial.
Malahan di kalangan umat Hindu sendiri hal ini masih menjadi masalah yang patut untuk didiskusikan, artinya begini, pantaskah seorang Lubdhaka yang melakukan pembunuhan terhadap segala binatanga ini mendapatkan pengampunan hanya karena melakukan kegiatan begadang semalam suntuk?
Sumber : umaseh
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar, kritik atau saran anda